Peran ORMAS; Kasus Muhammadiyah
MAKALAH INI DISUSUN DALAM PERKULIAHAN
PASCASARJANA STAIN KEDIRI 2011/2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
dinamika proses kelahirannya, Muhammadiyah merupakan gerakan pembaharu atau
tajdid, terlebih dari aspek purifikasinya. Setidaknya dalam ukuran tertentu
Muhammadiyah telah mengembangkan misi ganda. Pertama, misi purifikasi, yaitu
mengembalikan semua bentuk kehidupan keagamaan pada contoh zaman Islam, dengan
membentengi keyakinan aqidah Islam serta berbagai bentuk ritual tertentu dari
pengaruh sesat. Kedua, dengan landasan universalitas ajaran Islam sesuai dengan
tantangan perkembangan kehidupan, terutama pada ajaran yang berkaitan dengan
nonibadah, seperti aktivitas yang bersumber dasar ajaran Islam dan hanya
memberikan global
principles.
Namun,
pada era belakangan ini khususnya dua dasa warsa terakhir banyak kalangan,
termasuk para pendukungnya, yang kritis mempertanyakan kembali gelar tajdid
yang dilakukan Muhammadiyah. Mereka menilai Muhammadiyah mulai dan sudah
kehilangan elan-tajdidnya, bahkan secara lantang mereka mengatakan Muhammadiyah
mandul dan mengalami stagnasi dalam pemikiran.[1]
Sikap
skeptisisme ini muncul karena Muhammadiyah telah terjebak pada keraguan yang
lebih berkaitan pada ketadjdidan pengembangan pemikiran Islam, terlebih
pemikiran Islam yang khas Indonesia. Bahkan, menurut Azyumardi Azra, akar
kejumudan terletak pada doktrin atau konsep teologi yang semakin dipertanyakan
relevansinya di tengah masyarakat pascamodern yang sedang mengalami kegundahan
keagamaan.[2]
Makalah
ini tidak bermaksud untuk mendiskusikan Muhammadiyah dalam aspek gerakannya
yang luas, namun lebih memfokuskan pada salah satu aspek gerakan pembaharuan
Muhammadiyah yakni gerakan di bidang pendidikan. Bahkan, gerakan dalam
pendidikan merupakan komitmen utama Muhammadiyah untuk melakukan pembaharuan
dalam segala aspek.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah singkat Organisasi
Muhammadiyah ?
2. Bagaimana Pemikiran Organisasi
Muhammadiyah ?
3. Bagaimana Perkembangan
Organisasi Muhammadiyah ?
4. Bagaimana Peran Organisasi
Muhammadiyah dalam Pendidikan Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kelahiran
Muhammadiyah
Muhammadiyah
adalah salah satu organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum
Perang Dunia II hingga sekarang. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta tanggal
18 November 1912, atas saran murid-muridnya dan beberapa orang yang tergabung
dalam Budi Utomo, oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, anak Kyai Haji Abubakar bin Kyai
Sulaiman (Khatib Mesjid Sultan) dan ibunya anak Haji Ibrahim, penghulu.
Setelah
menyelesaikan pendidikan dasarnya dalam nahu, fiqh, dan tafsir di Yogyakarta
dan sekitarnya, ia pergi ke Mekkah tahun 1890 selama setahun. Salah seorang
gurunya di Mekkah adalah Syeikh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903 ia kembali
mengunjungi Tanah suci selama dua tahun.
Untuk
mencapai tujuan organisasi Muhammadiyah, didirikanlah lembaga-lembaga
pendidikan dengan mengintensifkan pelaksanaan dakwah yang lebih mengutamakan
aspek-aspek Islam, mendirikan institusi wakaf dan masjid-masjid serta
menerbitkan buku-buku, majalah, dan surat kabar, serta lembaga-lembaga
pendidikan dan dakwah yang terutama bertujuan “menyebarkan pengajaran kanjeng nabi
Muhammad SAW kepada penduduk bumi putera” dan “memajukan agama Islam.”
Dengan
sikap toleran dan pengabdian yang sungguh-sungguh dan kemauan yang tinggi,
organisasi ini berkembang dan tumbuh dengan cepat dan terorganisir secara rapi.
Pada tahun 1925, organisasi ini telah mempunyai 29 cabang dengan 4.000 anggota.
Kegiatan dalam bidang pendidikan meliputi delapan Hollands Inlandse School
(HIS), satu sekolah guru di Yogyakarta, 32 sekolah dasar lima tahun, satu
Schakelschool, 14 madrasah, yang jumlah guru seluruhnya mencapai 119 orang
sedang muridnya mencapai 4.000 orang. Dalam bidang sosial, organisasi ini
memiliki klinik di Yogyakarta dan Surabaya dan sekitar 12.000 pasien telah
memperoleh pengobatan; satu rumah miskin dan dua rumah Yatim Piatu. Sedangkan bagian
publikasi telah menerbitkan sejumlah 700.000 buku dan brosur.[3]
Di
samping ide pemikiran Ahmad Dahlan, lahirnya Muhammadiyah sebagai manifestasi
dari keinginan umat Islam saat itu untuk mewujudkan keyakinan akan kebenaran
dan ketinggian Islam dengan tujuan utamanya mewujudkan Islam sebagai rahmatan
li al-’amin atau kesejahteraan bagi seluruh umat manusia dan alam
semesta.
Lahirnya
pemikiran modern organisasi ini di awal abad ke-20 tidak dapat dilepaskan
dengan situasi dan kondisi sosial, politik yang dihadapi umat Islam saat itu.[4] Kondisi
sosial politik kala itu, di mana umat Islam berada dalam cengkraman kolonial,
sebagai faktor eksternal mendorong munculnya organisasi ini. Faktor internal
yang ikut mendorong lahirnya Muhammadiyah adalah sikap keberagamaan umat Islam
kala itu yang dinilai sangat sinkretis dan diselimuti oleh tradisi Hindu-Budha
dalam menjalankan ibadah ritual serta rendahnya partisipasi umat Islam dalam
pendidikan.
Selain
sikap keberagamaan umat Islam pada saat itu yang masih belum rasional,
menyebabkan banyak ajaran Islam dicampuradukkan dengan syirik, khurafat,
bid’ah, dan taqlid. Sikap ini disebabkan oleh besarnya pengaruh kepercayaan dan
keyakinan Hindu dan animisme dalam kehidupan masyarakat, selain akibat dari
proses Islamisasi yang berbau sufisme atau mistisisme dan paham tarekat.
Pemahaman ini akibat kedangkalan berpikir umat Islam yang hanya cenderung
mengikuti salah satu mazhab. Sistem pendidikan yang lebih menekankan pada
kemampuan mengaji bukan mengkaji (penalaran) sehingga menimbulkan pemikiran
yang tradisional yang kurang rasional.
Gencarnya
gerakan westernisasi kala itu, yang sengaja memperkenalkan ilmu-ilmu dan
kebudayaan Barat yang sekuler tanpa diimbangi dengan pendidikan agama oleh
pemerintah Belanda, membuat KH Ahmad Dahlan merasa gerang dan berfikir bahwa
salah satu wadah yang tepat untuk menangkal gerakan tersebut adalah dengan cara
mendirikan Muhammadiyah. KH Ahmad Dahlan beranggapan bahwa gerakan westernisasi
tersebut merupakan ancaman umat Islam terbesar di awal abad ke-20.
B.
Pemikiran
Muhammadiyah
Komprehensitas
tentang ide pemikiran dan amal usaha Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan
tokoh pendirinya, sebab pandangan pendiri tersebut hingga saat ini tetap
dijadikan sebagai gerakan pola dasar pengembangan Muhammadiyah. Terdapat
sepuluh konsep pemikiran KH Ahmad Dahlan yang oleh R.H. Hajid dirangkum menjadi
tujuh kerangka pemikiran yaitu: Pertama, ulama adalah orang yang berilmu dan
hatinya hidup (kreatif) serta mengembangkan ilmunya dengan ihklas. Kedua, untuk
mencari kebenaran, orang tidak boleh merasa benar sendiri. Ketiga, bersedia
mengubah pikiran dengan sikap dan hati terbuka. Keempat, dalam mencapai tujuan
hidup, manusia harus bekerja sama dengan menggunakan akal. Kelima, cara
mengambil keputusan yang benar harus bersedia mendengar dan mempertimbangkan
akhlaq. Keenam, berani mengorbankan harta milik untuk membela kebenaran.
Ketujuh, mempelajari teori dan keterampilan dengan bertahap. Konsep pemikiran
tersebut didasarkan (Q.S. Al-Ma’un 1-7 dan Al-Anfal: 24).
Berdasarkan
pendangan di atas Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid yang identik
dengan gerakan Islam, berusaha menghidupkan akal pikiran umat Islam, serta
membangun kemampuan profesional bagi umat Islam untuk meraih kebahagiaan
jasmani dan rohani.[5]
Karena itu, gerakan Muhammadiyah harus dipahami dari dua segi. Pertama, berciri
atau bersifat Islam seperti kedisiplinan, gigih, tidak mudah frustasi, dan
kreatif. Kedua, mementingkan ukhuwah Islamiyah, dan harus menjaga dan
menggerakkan Islam sebagai gerakan yang dinamis yang tidak saja untuk
kepentingan warga Muhammadiyah tetapi berfungsi sebagai rahmatan lil’alamin.
C.
Perkembangan
organisasi
Titik
awal perkembangan Muhammadiyah adalah ketika KH Ahmad Dahlan diangkat sebagai
Khatib di kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1896 ketika berumur 28 tahun
untuk menggantikan ayahandanya. Tahun 1898 KH Ahmad Dahlan mempelopori
Musyawarah Alim Ulama Yogyakarta. Dalam pertemuan tersebut KH Ahmad Dahlan
menawarkan ide agar arah kiblat mesjid besar Yogyakarta diubah sesuai
perhitungan ilmu falaq. Namun, ide tersebut ditentang oleh para ulama lain.
Sejak itu KH. Ahmad Dahlan mendirikan surau di samping tempat tinggalnya dengan
arah kiblat dicocokkan dengan perhitungan ilmu falaq.
Tahun
1909 KH Ahmad Dahlan masuk ke organisasi Budi Oetomo dengan maksud untuk
memperlancar dakwah kepada anggota Budi Oetomo dan siswa yang belajar di
sekolah Belanda. Pengaruh KH Ahmad Dahlan dalam organisasi Budi Oetomo inilah
yang kemudian mendapat rekomendasi dari Budi Oetomo untuk mendirikan
Muhammadiyah 1912 yang disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada
tahun 1914.
Setelah
Muhammadiyah mendapat rekomendasi, ruang gerak organisasi ini meliputi seluruh
wilayah Jawa. Setahun kemudian ia meliputi seluruh Wilayah Hindia Belanda.
Perluasan ini dimanfaatkan untuk mendirikan perkumpulan Kaum Ibu yang diberi
nama “Sapatresna” tahun 1914, yang dipimpin langsung oleh isteri Kyai Ahmad
Dahlan (Siti Walidah). Tahun 1920, perkumpulan ini berubah menjadi “Aisyiyah”,
dan pada tahun 1922 menjadi organisasi otonom.
Tahun
1918 didirikan sekolah baru bernama “Al-Qin Al-Arqa”. Dua tahun kemudian dari
sekolah ini didirikan Pondok Muhammadiyah di Kauman. Pada tahun 1923
Muhammadiyah telah berhasil mendirikan 8 jenis sekolah dengan jumlah siswa
sebanyak 1019 yang diasuh oleh 73 orang guru.
Tahun
1921 Muhammadiyah mendirikan sebuah wadah yang memusatkan perhatiannya untuk
mempermudah pelaksanaan ibadah haji. Berdirinya wadah ini memberikan inspirasi
munculnya Direktorat Pembinaan Urusan Haji Departemen Agama.
Setiap
perkembangan Muhammadiyah selalu diiringi oleh perkembangan amal usahanya.
Usaha mula-mula dilakukan dengan mendirikan sekolah serta menyelenggarakan
pengajian Islam. Selanjutnya, di bidang kesejahteraan ekonomi, kesehatan, dan
kajian hukum Islam. Usaha-usaha tersebut melahirkan Rumah Sakit, Rumah Yatim
Piatu, Rumah Miskin, Rumah Jompo, Majelis Tarjih, Majelis Pembina Kesejahteraan
Umut (PKU), Majelis Ekonomi, Majelis Kehartaan, dan Wakaf tahun 1926.
Penyempurnaan
amal usaha terlihat sejak dibentuk Majelis Pembina Kesejahteraan Umat (PKU),
tabligh, taman pustaka, yayasan dan Aisyiyah, serta pemuda. Bagian-bagian
tersebut masing-masing membidangi unit-unit kerja tertentu sesuai dengan misi
kinerja yang akan dikembangkan.
Tahun
1927, misalnya bidang Majelis Ekonomi ditetapkan akan membentuk Bank
Muhammadiyah, meskipun hingga sekarang belum mampu direalisir. Tahun 1929
melalui Taman Pustaka dibentuk Badan Penerbitan Buku dan Komisi Sekolah, serta
mendirikan rumah pertolongan di setiap daerah. Tahun 1930 dibentuk Consul HB
(Hoofd Bestuur) sebagai koordinator Muhammadiyah Pusat di daerah-daerah yang
kemudian menjadi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah.
Pada
kongres ke-21 tahun 1932 dibentuk badan penerbitan sebuah harian. Badan
penerbit ini melahirkan Harian Adil di Solo dan kemudian Majalah Remaja sebagai
majalah Pemuda Muhammadiyah.
Selanjutnya,
pada tahun 1936 dibentuk Badan Majelis Pertolongan dan Kesehatan. Setahun
kemudian, dibentuk Komisi Kesehatan Muhammadiyah yang mulai menyebar ke seluruh
daerah sekitar tahun 1938.
Tahun
1939 dibentuk Majelis Wakaf dan kehartabendaan, serta Majelis Tanwir
(musyawarah) yang terdiri dari pengurus wilayah Muhammadiyah sebagai suatu
lembaga di bawah muktamar atau kongres.
Dalam
perjalanan perpolitikan di Indonesia, warga Muhammadiyah pernah beramai-ramai
memberikan dukungan terhadap Partai Serikat Islam. Tokoh-tokoh Muhammadiyah
pernah menjadi anggota istimewa Masyumi, yang ikut serta melahirkan Partai
Muslimin Indonesia. Keterlibatan tokoh-tokoh Muhammadiyah terhadap salah satu
Partai politik tidak pernah dilakukan secara resmi atau secara organisatoris,
hanya sebatas berkeinginan untuk menyalurkan aspirasi Muhammadiyah terhadap
salah satu wadah. Namun, tokoh-tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam aktivitas
partai merasa kecewa, lantaran partai-partai politik tidak bisa dijadikan
sarana menyalurkan aspirasi Muhammadiyah, hingga tokoh-tokoh tersebut keluar
dari partai politik, baik secara individu atau kelompok. Meskipun tokoh-tokoh
Muhammadiyah telah keluar dari salah satu Partai Politik, namun secara
organisatoris Muhammadiyah tetap memberikan kebebasan kepada warganya untuk
menyalurkan aspirasi politiknya, sesuai dengan panggilan nurani masing-masing.
Bahkan, Muhammadiyah pernah memberikan kebebasan kepada warganya untuk memilih
partai yang tidak berasaskan Islam.
Demikian
sekilas perkembangan Muhammadiyah baik selama dalam kepemimpinan KH Ahmad
Dahlan maupun sesudahnya, hingga dilakukan pembaharuan organisasi tahun 1960,
baik secara vertikal maupun harizontal. Pembaharuan secara vertikal terkait
dengan pembenahan struktur dengan pembentukan jaringan tradisional mulai
tingkat pusat sampai tingkat ranting. Secara harizontal pembaharuan mencakup
pertumbuhan jumlah amal usaha Muhammadiyah yang berkembang secara cepat dan
maju.[6]
D.
Amal
usaha dalam bidang pendidikan
Kehadiran
Muhammadiyah dimaksudkan untuk menangani semua aspek kehidupan sosial, sesuai
dengan kemampuan dan problem yang dihadapinya. Pada awal berdiri, Muhammadiyah
menitikberatkan pada usaha dakwah melalui tabligh, pengajian, pendidikan, dan
pembinaan keluarga Muslim yang hanya mencakup wilayah Residensi Yogyakarta,
kemudian berkembang meliputi seluruh Jawa dan seluruh wilayah jajahan Hindia
Belanda, bahkan akhirnya diperluas wilayahnya ke berbagai daerah.
Demikian
halnya amal usaha yang ditangani kian lama menjadi berkembang secara pesat dan
cepat seiring dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Dalam mencerdaskan dan
mencerahkan kehidupan umat Islam, Muhammadiyah menempuh tiga proses, yakni
ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Ta’lim berusaha mencerdaskan otak manusia,
tarbiyah mendidik perilaku yang benar, sedangkan ta’dib memperhalus adab
kesopanan. Secara teoritis, seluruh lembaga pendidikan Muhammadiyah berusaha
menggelindingkan pencerahan tiga dimensi itu sekaligus, berdasarkan wawasan
Keislaman.[7]
Gerakan
di bidang pendidikan semakin gencar dilakukan setelah Muktamar ke-41 di
Surakarta diadakan perubahan Anggaran Dasar pasal 4 yang berisi tentang ruang
lingkup amal usaha Muhammadiyah yang meliputi: pengembangan penyelidikan nilai
dan hukum Islam (tarjih) serta pengembangan pendidikan dan kebudayaan, tabligh,
tolong menolong, kepustakaan, penertiban wakaf, kepemudaan, kewanitaan, dan
kesejahteraan hidup anggota (ekonomi).
Pada
dasarnya, kegiatan di bidang pendidikan sudah dimulai sejak awal berdirinya,
berkaitan dengan amal usaha lainnya. Tahun 1929 jumlah rumah sekolah yang
didirikan oleh Muhamamdiyah di wilayah Yogyakarta, Surakarta, dan Jakarta sudah
mencapai 126 buah. Selain itu, sejumlah balai pengobatan (poliklinik) di
kota-kota Yagya, Surabaya, dan Malang telah mengobati sebanyak 81.000 orang
pasien.[8]
Mengenai
amal usaha di bidang pendidikan, Shodiq T. Sutaikrama, sebagaimana dikutip
Rusli Karim, menyatakan bahwa sektor amal usaha pendidikannya menghadirkan
13.201 sekolah mulai jenjang Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi.
Menanggapi perkembangan secara kelembagaan ini, patut disyukuri karena
Muhammadiyah telah memiliki amal usaha yang cukup banyak. Selain memiliki
lembaga pendidikan, juga memiliki sekitar 215 Rumah Sakit dan Poliklinik.
Secara
kuantatif, usaha di bidang pendidikan yang dilakukan Muhammadiyah memang cukup
besar dan membanggakan, namun secara kualitatif masih dipertanyakan oleh para
simpatisan dan warga Muhammadiyah dengan melakukan evaluasi untuk meningkatkan
kualitas pendidikan di semua jenjang pendidikan. Berdasarkan hasil evaluasi,
lahirlah beberapa sekolah Muhammadiyah unggulan sebagai jerih payah pengurus
Muhammadiyah dan pengelola sekolah yang dimotivasi oleh munculnya rasa ketidakpuasan
dalam arti positif yakni keinginan untuk maju dan terus maju.
Dunia
pendidikan menjadi salah satu konsentrasi pengembangan misi Muhammadiyah yang
sistem pengajarannya berpolakan sistem sekolah negeri. Sistem pendidikan dan
pengajaran tersebut bukan dimaksudkan untuk menciptakan sendiri suatu sistem
pendidikan Islam, melainkan untuk mengorganisir sistem pendidikan swasta yang
sejajar dengan sistem nasional.[9]
Memang
sejak awal kelahirannya, Muhammadiyah cenderung menyesuaikan dengan sistem
pendidikan kolonial sekalipun hanya dalam tata cara penyelenggaraan pendidikan
dan bukan dalam materi atau isi serta tujuan pendidikannya. Dalam analisis
terhadap gerakan-gerakan pendidikan Islam di Indonesia yang muncul pada
setengah abad pertama abad ke-20 dapat dikatakan bahwa Muhammadiyah dan
Abdullah Ahmad di Minangkabau sebagai gerakan yang bersifat akomodatif,
sedangkan gerakan-gerakan seperti Persatuan Islam (Persis), NU, PUI, Jam’iyatul
Wasliyah dan Perti lebih bersifat asimilatif.[10]
Kemudian, Muhammadiyah juga mendirikan sekolah-sekolah yang mirip dengan
pesantren, yang dapat digolongkan assimilatif[11].
Pada
dasarnya reorientasi kelembagaan dan reorientasi tujuan pengajaran Muhammadiyah
didasarkan pada perkembangan dan tuntutan yang muncul untuk melakukan
pembaharuan. Kontekstualisasi pengajaran tersebut diharapkan agar secara
kualitatif pendidikan yang dikelolah oleh Muhammadiyah dapat dipertanggung
jawabkan.
Amal
usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan generasi muda selain melalui pendidikan
dan pengajaran baik yang dilakukan secara formal maupun informal, juga dibentuk
suatu wadah kegiatan pemuda yang disebut Hizbul Wathan. Wadah ini disiapkan
untuk menyalurkan potensi dan aspirasi di kalangan generasi muda Muhammadiyah
yang kemudian diubah menjadi kegiatan “Pramuka”. Munculnya wadah atau
organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM), Pemuda Muhammadiyah, dan sejenisnya, yang merupakan wujud nyata dari blooming
usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan.
Munculnya
beberapa wadah pelajar dan kepemudaan tersebut menampakkan ikatan emosional
kemuhammadiyahan, juga sebagai agen penting untuk meningkatkan kualitas
pendidikan dan sekaligus perubahan yang dimungkinkan akan terjadi sebagai
reaksi terhadap perkembangan dan tuntutan zaman. Secara organisatoris dan
sebagai wujud nyata atas perkembangan Muhammadiyah, organisasi-organisasi
tersebut menjadikan Muhammadiyah lebih mapan.
Namun,
banyak kritik yang dilakukan oleh para cendekiawan baik di lingkungan Muhammadiyah
maupun simpatisan terhadap keadaan Muhammadiyah dewasa ini. Kritik tersebut
adalah sebagai berikut. Bahwa secara kuantitas Muhammadiyah terus berkembang,
namun kurang diimbangi oleh kemampuan kualitas, dan sebagai akibat merosotnya
keterlibatan kaum intelektual di kalangan Muhammadiyah, maka terjadi semacam
alienasi kaum intelektualnya. Selain daripada itu, gerakan Muhammadiyah
cendrung terjebak pada kegiatan rutin, sehingga kurang kreatif dan inovatif.
Terlepas
benar tidaknya, kritik tersebut harus diterima secara lapang dada. Sikap
keterbukaan tersebut pada akhirnya akan membawa Muhammadiyah ke ujung kemajuan,
jika kritik dimaksud ditanggapi secara rendah hati untuk memperbaiki diri.
Kritik yang sama dikemukakan oleh AR Fachrudin, bahwa Muhammadiyah masih
kekurangan kader ulama, muballigh, petugas sosial, jurnalistik, pustakawan,
ekonom, manajer, cendekiawan, kebudayaan dan sebagainya.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Muhammadiyah
adalah salah satu organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum
Perang Dunia II hingga sekarang. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta tanggal
18 November 1912.
Pemikiran
Muhammadiyah yang pertama berciri atau bersifat Islam seperti kedisiplinan,
gigih, tidak mudah frustasi, dan kreatif. Kedua, mementingkan ukhuwah
Islamiyah, dan harus menjaga dan menggerakkan Islam sebagai gerakan yang
dinamis yang tidak saja untuk kepentingan warga Muhammadiyah tetapi berfungsi
sebagai rahmatan lil’alamin.
Titik
awal perkembangan Muhammadiyah adalah ketika KH Ahmad Dahlan diangkat sebagai
Khatib di kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1896 ketika berumur 28 tahun
untuk menggantikan ayahandanya. Tahun 1898 KH Ahmad Dahlan mempelopori
Musyawarah Alim Ulama Yogyakarta. Dalam pertemuan tersebut KH Ahmad Dahlan
menawarkan ide agar arah kiblat mesjid besar Yogyakarta diubah sesuai
perhitungan ilmu falaq.
Sektor
amal usaha pendidikannya menghadirkan 13.201 sekolah mulai jenjang Taman
Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Menanggapi perkembangan secara kelembagaan
ini, patut disyukuri karena Muhammadiyah telah memiliki amal usaha yang cukup
banyak. Selain memiliki lembaga pendidikan, juga memiliki sekitar 215 Rumah
Sakit dan Poliklinik. Munculnya beberapa wadah pelajar dan kepemudaan tersebut
menampakkan ikatan emosional kemuhammadiyahan, juga sebagai agen penting untuk
meningkatkan kualitas pendidikan dan sekaligus perubahan yang dimungkinkan akan
terjadi sebagai reaksi terhadap perkembangan dan tuntutan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin,
MT. Muhammadiyah Potret Yang Berubah. Surabaya: Institut Gelanggang
Pemikiran Filsafat Sosial Budaya dan Kependidikan. 1996
Azra,
Azyumardi. Muhammadiyah
dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, dalam Ulumul Al-Quran.
Nomor 2 Vol. VI, 1995
Lubis,
Arbaiyah. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh; Suatu Studi
Perbandingan. Jakarta: Bulan Bintang. 1987
Langgulung,
Hasan. Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21. Jakarta : Pustaka
Al-Husna. 1988
Munir
Mulkan, Abdul. Pemikiran KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif
Perubahan Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. 1990
Noer,
Deliar. Gerakan
Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. 1988
Rusli,
M. Karim. Muhammadiyah dalam kritik dan komentar. Jakarta: Rajawali
Press. 1986
Rais,
M. Amien. Tauhid Sosial: Doktrin Perjuangan Muhammadiyah, dalam Media
Indonesia. Jurnal Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta, No.1, 1996.
Sujarwanto.
Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan: Sebuah Dialog Intelektual. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1990
[1] M. Karim
Rusli, Muhammadiyah dalam kritik dan komentar, (Jakarta: Rajawali Press,
1986), 34
[2] Azyumardi
Azra, Muhammadiyah
dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, dalam Ulumul Al-Quran,
Nomor 2 Vol. VI, 1995, 3
[3] Deliar Noer, Gerakan
Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1988)
191-194
[4] Arbaiyah Lubis,
Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh; Suatu Studi Perbandingan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1987),13
[5] Abdul Munir Mulkan,
Pemikiran KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1990), 43
[6] MT. Arifin, Muhammadiyah
Potret Yang Berubah, (Surabaya: Institut Gelanggang Pemikiran Filsafat
Sosial Budaya dan Kependidikan, 1996), 256
[7] M. Amien Rais,
Tauhid Sosial: Doktrin Perjuangan Muhammadiyah, dalam Media Indonesia,
Jurnal Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta, No.1, 1996.
[8] M. Karim Rusli,
Muhammadiyah dalam kritik dan komentar, (Jakarta:Rajawali Press, 1986)
123
[9] MT. Arifin, Muhammadiyah
Potret ... 270
[10] Asimilatif adalah
kemampuan komunikator dalam mengorelasikan gagasan atau informasi yang ia
terima dari orang lain secara sistematis dengan apa yang telah ia miliki dalam
benaknya yang merupakan hasil pendidikan dan pengalamannnya
[11] Hasan
Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta : Pustaka
Al-Husna, 1988), 69
[12] Sujarwanto, Muhammadiyah
dan Tantangan Masa Depan: Sebuah Dialog Intelektual, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1990), 381
0 komentar:
Posting Komentar