AL-JARH WA AL-TA’DIL
Pada perkembangan ilmu hadist setelah menjadi ilmu yang berdiri sendiri dan setelah dikembangkan pembahasannya oleh para ulama, mucullah cabang-cabang ilmu yang membahas secara khusus tentang masalah tertentu, yang kemudian memilki nama tersendiri sesuai masalah yang dibahasnya. Seperti, ilmu rajil al-hadits, ilmu al-jarh wa al-ta’dil, ilmu tarikh al-ruwah, ilmu ‘ilal al-hadits, ilmu al-nasikh wa al-mansukh, ilmu asbab wurud al-hadits dan ilmu mukhtalif al-hadits. Namun pada makalah hanya menjelaskan tentang ilmu al-jarh wa at-ta’dil.
Ilmu al-jarh wa at-ta’adil
1. Pengertian Ilmu al-jrah wa at-ta’adil[1]
a. Ilmu al- jarh
Menurut bahasa al- jarh artinya melukai, cela, atau cacat. Sedangkan menurut istilah ilmu hadist adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya.
Para ahli hadist mendefinisikan al- jarh dengan:
“Kecacatan pada perawi hadist disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedabitan perawi”.
b. At- ta’dil
Menurut bahasa artinya meluruskan, membetulkan, membersihkan. Sedangkan menurut istilah adalah:
“Lawan dari al- jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dabit”.
Ilmu al-jarah wa at-ta’adil adalah ilmu yang membahas tentang hal ihwal para rawi dalam bidang mengeritik kajaibannya.dan memuji keadilannya, dengan norma-norma tertentu, sehingga dengan demikian dapat ditentukan siapa yang diantara para rawi itu yang dapat diterima atau ditolak hadist yang diriwayatkanya.[2]
Ilmu ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi’dijarh’ oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bias diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Kecacatan rawi itu bisa ditelusuri melalui perbuatab-perbuatan yang dilakukannya, bisanya dikategorikan kadalam lingkup perbuatan “bid’ah, yakni melakukan tidakan tercelah atau diluar ketentuaan syariah ,mukolafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih sikoh., ghalat, yakni banyak melakukan keliruan dalam meriwayatkan hadis., jahalat hal-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas danlengkap., da’wat al-inqitha, yakni diduga ppenyandaran (sanatnya) tidak bersambung.
Adapun informasi jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui 2 jalan, yaitu :
1 Popularitas para perawi dikalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebangai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai aib. Bagi yang sudah terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilannya , maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kepasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoslkan.
2 Bedasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta’dilkan seorang rawi yang lain belum dikenal keadilannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bias diterima. Begitu juga dengan rawi yang di-tajih. Bila seorang rawi yang adil telah mentajrihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.[3]
Jarh yang terdapat dalam kitab-kitab Rijalil-Hadits dan sebagainya, boleh kita bagi kepada tiga macam[4]:
1. Jarh yang tidak beralasan. Tiap-tiap jarh yang ditujukan kepada seseorang rawi, hendaklah ada alasannya, dari perbuatan atau omongan si rawi, atau dari jalan lain. Contoh, Bakr bin ‘Amr Abush-Shiddiq an-Naji: Kata Ibnu Hajar:”Ibnu Sa’d ada membicarakan diri Bakr dengan tidak beralasan”.
2. Jarh yang tidak diterangkan sebabnya. Jarh yang tidak diterangkan sebabnya itu, seperti seorang berkata: “Si anu lemah”, “Si anu tidak kuat” dan lain-lain yang seumpamanya, dengan tidak disebut atau diketahui sebab si rawi dianggap lemah atau tidak kuat. Contoh, Yazid bin Abi Maryam ad-Dimisyqi: tentang dirinya, ad-Daraquthni berkata: “Dia tidak kuat”. Ibnu Hajar berkata:
Ini satu jarh yang tidak diterangkan sebabnya”.
3. Jarh yang disebut sebabnya. Sebab-sebab yang ulama gunakan dalam menjarh rawi-rawi bertingkat-tingkat. Berikut beberapa sifat yang menyebabkan seorang rawi dianggap lemah adalah:
1. Dusta. Sengaja menceritakan sesuatu berlainan dengan yang terjadi.
2. Salah. Apabila salahnya itu sering atau banyak yang kira-kira meragukan kita untuk menganggap riwayatnya benar.
3. Lupa atau Lalai. Riwayat rawi tertolak apabila ia sering lupa.
4. Dungu. Karena kebodohan perawi meragu-ragukan kebenaran ceritanya.
5. Menyalahi. Riwayat rawi menyalahi riwayat orang kepercayaan/yang lebih kuat daripadanya.
6. Fisq. Mengerjakan dosa-dosa besar, dan maksiat-maksiat besar.
7. Tidak dikenal. Orang yang tidak dikenal di sisi ahli Hadits.
8. Buruk Hafalan.
9. Talqin. Mengajarkan dengan tidak mengetahui apa yang diajarkan.
10. Kehilangan Kitab. Orang yang biasa meriwayatkan Hadits dari kitabnya, karena ia bukan hafidh, riwayat dengan hafalannya ditolak.
11. Ikh-Thilath. Bercampur. Perawi yang berubah akalnya maka omongannya akan bercampur yang meragukan.
12. Tad-lis. Menyamarkan
13. Bukan Ahli. Orang yang bukan ahli dalam meriwayatkan hadits, riwayatnya ditolak.
14. Bersendiri dalam meriwayatkan.
15. Mempermudah. Orang yang sering mempermudah sesuatu urusan, sering salah dan keliru.
Tingkatan Al-Jarh [5]
1. Tingkatan Pertama
Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan).
2. Tingkatan Kedua
Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).
3. Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla’if jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
4. Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).
5. Tingkatan Kelima
Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla’ (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla’ (dia memalsikan hadits).
6. Tingkatan Keenam
Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.
(Tadriibur-Rawi halaman 229-233; dan Taisir Musthalah Al-Hadits halaman 152-154).
Tingkatan At-Ta’dil[6]
1. Tingkatan Pertama
Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan af’ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.
2. Tingkatan Kedua
Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-‘adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma’mun), atau tsiqah dan hafidh.
3. Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, atau hafidh.
4. Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan adanya ke-‘adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma’mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut).
5. Tingkatan Kelima
Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya ‘anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).
6. Tingkatan Keenam
Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya).
Hukum Tingkatan-Tingkatan Ini
Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.
Kesimpulan
Ilmu jarh adalah kecacatan pada perawi hadist disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedabitan perawi. Jadi ilmu jarh adalah ilmu yang mempelajari seluk-beluk para perawi hadits yang meliputi perkataan dan perbuatan dalam mendapatkan dan menjaga hadits. Ilmu ta’dil adalah lawan dari al- jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dabit. Pernyataan bahwa seorang perawi bersih dari sifat-sifat yang membuat riwayatnya ditolak. Sehingga dengan ta’dil ini riwayatnya bisa diterima dikalangan umat islam.
Saran
Dengan mempelajari kedua ilmu ini, maka jelaslah para perawi yang bisa diterima riwayatnya tanpa ada keraguan lagi. Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat dijadikan referensi bagi para peminat hadits dalam menentukan sikap pada sebuah hadits. Tentunya makalah ini masih banyak kekurangan dengan kedhaifan penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran yang sangat membantu penyempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua umat islam.
DAFTAR PUSTAKA
Hassan, A. Qadir. Ilmu Mushtahalah Hadits. Bandung: CV. Diponegoro. 1996
Ismail, Syuhudi. Penantar Ilmu Hadits. Bandung: Offset Angkasa, 1987.
Suprata, Munzier. Ilmu hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2010.
0 komentar:
Posting Komentar